Senin, 25 Agustus 2014

Unsur Pasal 170 KUHP



Pasal 170 KUHP



KUHP terjemahan Prof. Moeljatno, SH

(Kitab Undang-undang Hukum Pidana ; Cet.20, Jakarta : Bumi Aksara, 1999, hal.147)
(1)      Barangsiapa terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun 6 (enam) bulan.
(2)     Yang bersalah diancam :
ke-1.     dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun, jika dengan sengaja menghancurkan barang atau jika kekerasan yang digunakan mengakibatkan luka-luka
Ke-2.     dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun, jika kekerasan mengakibatkan luka berat ;
Ke-3.     dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun, jika kekerasan mengakibatkan maut.
(3)     Pasal 89 KUHP tidak berlaku bagi pasal ini.

Pasal 170 KUHP
KUHP terjemahan SR Sianturi, SH
(Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya ; Alumni AHAEM-PETEHAEM Jakarta, cet.ke-2, 1989, Hal.323-324).
(1)      Barangsiapa secara terbuka dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara maksimum 5 (lima) tahun 6 (enam) bulan.
(2)     Sipetindak diancam :
ke-1.     dengan pidana penjara maksimum 7 (tujuh) tahun, jika dia dengan sengaja menghancurkan barang itu atau jika kekerasan yang dilakukannya itu mengakibatkan luka ;
Ke-2.     dengan pidana penjara maksimum 9 (sembilan) tahun, jika kekerasan itu mengakibatkan luka berat ;
Ke-3.     dengan pidana penjara maksimum 12 (dua belas) tahun, jika kekerasan itu mengakibatkan mati.
(3)     Pasal 89 KUHP tidak diterapkan.


Pasal 170 KUHP
KUHP terjemahan R. Soesilo, SH
(KUHP Serta Komentar-komentarnya Lengkap pasal demi Pasal, Politea Bogor, Tahun 1996, hal.146)
(1)      Barangsiapa yang dimuka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, dihukum penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun 6 (enam) bulan.
(2)     Tersalah dihukum :
ke-1.     dengan penjara selama-lamanya 7 (tujuh) tahun, jika ia dengan sengaja merusakkan barang atau jika kekerasan yang dilakukannya itu menyebabkan sesuatu luka ;
Ke-2.     dengan penjara selama-lamanya 9 (sembilan) tahun, jika kekerasan itu menyebabkan luka berat pada tubuh ;
Ke-3.     dengan penjara selama-lamanya 12 (dua belas) tahun, jika kekerasan itu menyebabkan matinya orang.

(3)     Pasal 89 KUHP tidak berlaku.

Pasal 170 KUHP
KUHP terjemahan Drs. P.A.F. Lamintang, SH
(Delik-delik Khusus – Kejahatan terhadap Nyawa, Tubuh dan Kesehatan serta Kejahatan yang Membahayakan bagi Nyawa, Tubuh dan Kesehatan), Binacipta, Bandung, 1986, hal.295-296.
 (1)     Mereka yang secara terbuka secara bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang-orang atau barang-barang, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun 6 (enam) bulan.
(2)     Orang yang bersalah dipidana :
ke-1.     dengan pidana penjara selama-lamanya 7 (tujuh) tahun, jika ia dengan sengaja menghancurkan barang-barang atau jika kekerasan yang telah ia lakukan itu menyebabkan suatu luka pada tubuh ;
Ke-2.     dengan pidana penjara selama-lamanya 9 (sembilan) tahun, jika kekerasan tersebut menyebabkan luka berat pada tubuh ;
Ke-3.     dengan pidana penjara selama-lamnya 12 (dua belas) tahun, jika kekerasan tersebut menyebabkan suatu kematian.
(3)     Pasal 89 tidak berlaku bagi tindak pidana ini.


Pasal 89 KUHP
Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan.


Þ      Unsur - unsur pasal 170 ayat (1) KUHP ;

v  barangsiapa
v  terang-terangan
v  dengan tenaga bersama
v  menggunakan kekerasan
v  terhadap orang atau barang

barangsiapa   /   mereka
v  Mr. H.J. SMIDT ; Geschiedenis van het Wetboek van Strafrecht II, 1892, Haarlem, Hal.90-91 (sebagaimana dikutip oleh Drs. P.A.F LAMINTANG, SH dalam bukunya : Delik-delik Khusus – Kejahatan terhadap Nyawa, Tubuh dan Kesehatan serta Kejahatan yang Membahayakan bagi Nyawa, Tubuh dan Kesehatan, Binacipta, Bandung, 1986, hal.297-298)
Ø  Zij atau mereka, ini berarti bahwa yang dapat dijatuhi pidana sesuai dengan ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 170 ayat (1) KUHP itu adalah “orang banyak”, artinya orang-orang yang telah turut ambil bagian dalam tindak kekerasan terhadap orang-orang atau barang-barang yang dilakukan secara terbuka dan secara bersama-sama. Tapi ini tidak berarti bahwa semua orang yang ikut serta dalam kerusuhan seperti itu menjadi dapat dipidana. Yang dapat dipidana hanyalah mereka yang secara nyata telah turut melakukan sendiri perbuatan seperti itu. Kenyataan bahwa seseorang itu berada di tengah-tengah gerombolan orang banyak yang melakukan kekerasan-kekerasan terhadap orang-orang atau barang-barang, tidak dengan sendirinya membuat orang tersebut dapat dipidana.
v  Prof. Mr. T.J. NOYON – Prof. Mr. G.E. LANGEMEIJER ; Het Wetboek van Strafrecht I, S. Gouda Quint – D. Brouwer en Zoon, Arnhem, 1954, hal.661 (sebagaimana dikutip oleh  Drs. P.A.F. LAMINTANG, SH dalam bukunya : Delik-delik Khusus – Kejahatan terhadap Nyawa, Tubuh dan Kesehatan serta Kejahatan yang Membahayakan bagi Nyawa, Tubuh dan Kesehatan ; Binacipta, Bandung, 1986, hal.298)
Ø  Hal yang dikemukakan oleh SMIDT sebagaimana tersebut di atas adalah  sesuai dengan keterangan yang terdapat di dalam Memorie van Toelichting yang mengatakan bahwa : Niemand kan daaraan worden schuldig verklaard dan die werkelijk geweld pleegt, yang artinya : “Tidak seorang pun dapat dipersalahkan melakukan tindak pidana tersebut kecuali mereka yang secara nyata-nyata telah melakukan kekerasan”.   
v  Drs. P.A.F LAMINTANG, SH ; Delik-delik Khusus – Kejahatan terhadap Nyawa, Tubuh dan Kesehatan serta Kejahatan yang Membahayakan bagi Nyawa, Tubuh dan Kesehatan, Binacipta, Bandung, 1986, hal.297.
Ø  Keterangan yang terdapat di dalam Memorie van Toelichting tersebut menunjukkan adanya perbedaan antara ketentuan pidana yang diatur dalam KUHP dengan ketentuan yang diatur dalam KUHP Jerman yang mengatur tindak pidana yang sama, karena menurut KUHP Jerman siapa pun yang berada di tengah-tengah gerombolan manusia seperti dimaksudkan di atas itu tetap dapat dijatuhi pidana, walaupun mereka secara nyata tidak melakukan sesuatu kekerasan terhadap orang-orang atau barang-barang.  
v  SR. SIANTURI, SH ; Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Alumni AHAEM-PETEHAEM, Jakarta, cet.ke-2, 1989, Hal.324-325.
Ø  Subjeknya di sini adalah barangsiapa. Dalam bahasa aslinya adalah “Zij”, bukan ”hij”. Namun delik ini tidak mungkin dilakukan oleh hanya satu orang saja, kendati dalam hal terjadi suatu akibat seperti tersebut ayat (2) mungkin hanya satu orang saja yang dipertanggungjawabkan pidana berdasarkan ayat (2) tersebut. Dalam hal ini kepada selebihnya yang tidak turut serta “mengakibatkan” akibat tersebut, diterapkan ayat (1). Karenanya menjadi pertanyaan, berapa orang seharusnya petindaknya agar memenuhi unsur subjek delik ini ?
ü  Beberapa sarjana berpendapat tidak cukup hanya dua orang saja. Alasannya antara lain ialah, bahwa istilah “dengan tenaga bersama” lebih mengindikasikan suatu gerombolan manusia. Kemudian ditambahkan jika dua orang subjek sudah dipandang memenuhi unsur subjek delik ini, mengapa tidak digunakan saja istilah “dua orang atau lebih” yang tidak asing lagi dalam terminologi hukum pidana ? lihat antara lain pasal 167, 168, 363, 365 dsb-nya.
ü  Sementara sarjana lainnya (antara lain : Noyon) berpendapat bahwa subjek ini sudah memenuhi syarat jika ada dua orang (atau lebih).
ü  Selanjutnya penting untuk diperhatikan bahwa pembuatan delik ini menurut penjelasannya (memorie van toelichting) tidak ditujukan kepada kelompok, massa, gerombolan masyarakat yang tidak turut melakukan kekerasan tersebut. Delik ini hanya ditujukan kepada orangt-orang diantara gerombolan-masyarakat tersebut yang benar-benar secara terbuka dan tenaga bersama melakukan kekerasan tersebut.
ü  Bahwa di dalam praktek peradilan Indonesia ternyata delik ini telah diterapkan dimana terdakwanya hanya terdiri dari dua orang, yaitu berdasarkan Law Report 1973 hal.33.


terang-terangan   /   secara terbuka
v  Prof. Mr. D. SIMONS ; Leerboek van het Nederlandse Strafrecht II, P. Noordhoff N.V., Groningen – Batavia, 1941, hal.261, 262 (sebagaimana dikutip oleh  Drs. P.A.F. LAMINTANG, SH dalam bukunya : Delik-delik Khusus – Kejahatan terhadap Nyawa, Tubuh dan Kesehatan serta Kejahatan yang Membahayakan bagi Nyawa, Tubuh dan Kesehatan ; Binacipta, Bandung, 1986, hal.302-303)
Ø  Karena pasal 170 ayat (1) KUHP itu telah tidak memberikan sesuatu pembatasan tentang arti dari kata openlijk geweld atau kekerasan yang dilakukan secara terbuka itu sendiri, maka setiap kekerasan jika hal tersebut dilakukan secara terbuka dan dilakukan secara bersama-sama dengan orang banyak, dapat dimasukkan dalam pengertiannya. 
Ø  Selanjutnya telah dikatakan oleh profesor SIMONS, bahwa dengan memperhatikan sejarah terbentuknya pasal ini dan dengan memperhatikan penempatannya dalam Bab V dari Buku II KUHP, Hoge Raad (tanggal 12 April 1897,W.6955 ; tanggal 15 Maret 1915,N.J.1915 hal.751,W.9798 ; tanggal 22 Desember 1919,N.J.1920 hal.86,W.10515) berpendapat bahwa yang dapat dimasukkan kedalam pengertian openlijk geweld menurut pasal 170 ayat (1) KUHP itu hanyalah “kekerasan-kekerasan yang mengganggu ketertiban umum”, dengan alasan bahwa persyaratan tersebut dapat diketahui dari adanya kata openlijk atau secara terbuka didalam rumusan pasal 170 ayat (1) KUHP itu sendiri.     
Ø  Di lain pihak profesor van HAMEL telah bermaksud untuk membatasi pengertian dari kata kekerasan tersebut berdasarkan kenyataan bahwa perbuatan itu harus dilakukan secara openlijk, maka yang dimaksud dengan openlijk geweld atau kekerasan secara terbuka itu hanyalah kekerasan yang dapat dilihat oleh setiap orang.
v  Prof. Mr. G.A. van HAMEL (sebagaimana dikutip oleh  Prof. Mr. D. SIMONS dalam bukunya : Leerboek van het Nederlandse Strafrecht II, P. Noordhoff N.V., Groningen – Batavia, 1941, hal.262) dan dikutip pula oleh Drs. P.A.F. LAMINTANG, SH dalam bukunya : Delik-delik Khusus – Kejahatan terhadap Nyawa, Tubuh dan Kesehatan serta Kejahatan yang Membahayakan bagi Nyawa, Tubuh dan Kesehatan ; Binacipta, Bandung, 1986, hal.303.
Ø  Yang dimaksudkan dengan openlijk geweld atau kekerasan secara terbuka itu hanyalah kekerasan yang dapat dilihat oleh setiap orang.
v  Prof. Mr. T.J. NOYON – Prof. Mr. G.E. LANGEMEIJER ; Het Wetboek van Strafrecht I, S. Gouda Quint – D. Brouwer en Zoon, Arnhem, 1954, hal.664 (sebagaimana dikutip oleh  Drs. P.A.F. LAMINTANG, SH dalam bukunya : Delik-delik Khusus – Kejahatan terhadap Nyawa, Tubuh dan Kesehatan serta Kejahatan yang Membahayakan bagi Nyawa, Tubuh dan Kesehatan ; Binacipta, Bandung, 1986, hal.303-304)
Ø  Profesor-profesor NOYON-LANGEMEIJER ternyata mempunyai pendapat yang sama dengan pendapat dari profesor van HAMEL tentang kata openlijk geweld tersebut di atas. Tentang hal tersebut berkatalah profesor-profesor NOYON-LANGEMEIJER antara lain bahwa : “Kekerasan itu harus dilakukan secara terbuka, artinya harus dapat dilihat oleh umum. Kekerasan tersebut tidak perlu dilakukan di tempat umum. Undang-undang membuat perbedaan antara dua kata tersebut. Dengan demikian kekerasan itu juga dapat dilakukan di dalam rumah, akan tetapi agar dapat dipidana, perbuatan tersebut harus harus dapat dilihat oleh umum. Sungguhpun demikian, bahwa kata openlijk itu juga perlu dibatasi demikian rupa, hingga tidak setiap kekerasan yang sebenarnya dapat dilihat oleh umum, akan tetapi yang dalam kenyataannya tidak terlihat oleh umum itu juga harus dimasukkan ke dalam pengertian openlijk geweld atau kekerasan yang dilakukan secara terbuka.  
Ø  Menurut profesor-profesor NOYON-LANGEMEIJER, sesuai dengan arrest-arrest Hoge Raad masing-masing tertanggal 12 April 1897, W.6955, tertanggal 22 Desember 1919, N.J. 1920 halaman 86, W.10515 dan tertanggal 13 Juni 1944, N.J. 1944 No.578, kejahatan ini merupakan suatu kejahatan terhadap ketertiban umum. Jika sifat keterbukaan itu ternyata tidak ada, maka perbuatan-perbuatan yang dilakukan orang itu juga hanya dapat dipandang sebagai penganiayaan, sebagai kekerasan terhadap orang-orang, sebagai perusakan atau sebagai penghancuran.



Ø  Itulah pula sebabnya, menurut profesor-profesor NOYON-LANGEMEIJER, Hoge Raad dalam arrestnya tertanggal 30 Desember 1912, N.J.1913 halaman 365, W.9440 telah memutuskan, bahwa pasal ini tidak dapat diberlakukan terhadap kekerasan yang dilakukan orang di suatu tempat yang terpencil atau yang menyendiri, dimana ketertiban umum itu tidak akan menjadi terpengaruh karenanya.



v  Prof. Mr. D. SIMONS ; Leerboek van het Nederlandse Strafrecht II, P. Noordhoff N.V., Groningen – Batavia, 1941, hal.262 (sebagaimana dikutip oleh  Drs. P.A.F. LAMINTANG, SH dalam bukunya : Delik-delik Khusus – Kejahatan terhadap Nyawa, Tubuh dan Kesehatan serta Kejahatan yang Membahayakan bagi Nyawa, Tubuh dan Kesehatan ; Binacipta, Bandung, 1986, hal.304-305)



Ø  Berkenaan dengan adanya pendapat yang berbeda-beda mengenai arti dari kata openlijk geweld seperti yang telah dibicarakan di atas itu, dengan menunjuk pada nota dari profesor de VRIES tentang arti dari kata openlijk geweld tersebut, profesor SIMONS antara lain telah mengatakan bahwa : “Menurut pendapat saya semua pembatasan itu cukup dapat dibenarkan oleh arti dari kata secara terbuka itu sendiri”.



Ø  Tentang pengertian dari kata openlijk geweld tersebut akhirnya profesor SIMONS juga mengakui, bahwa suatu kekerasan itu hanya dapat dipandang sebagai suatu kekerasan yang dilakukan secara terbuka, jika kekerasan tersebut telah terjadi  dengan “dapat dilihat oleh umum”, dan tidaklah perlu bahwa kekerasan itu harus dilakukan di tempat umum. Tentang hal tersebut berkatalah profesor SIMONS selengkapnya sebagai berikut : “Suatu tindak kekerasan itu terjadi secara terbuka, jika tindak kekerasan tersebut terjadinya dapat dilihat oleh umum ; dilakukannya tindak kekerasan itu di tempat umum tidaklah cukup. Selanjutnya juga masih harus diisyaratkan, bahwa orang yang bersalah itu mengetahui bahwa tindak kekerasan, dalam tindak kekerasan mana ia telah mengambil bagian itu, telah dilakukan orang secara terbuka dan secara bersama-sama”. 



v  Arrest HR 12 April 1897, W.6955 ; 15 Maret 1915, N.J.1915 hal.751, W.9798 ; 22 Desember 1919, N.J.1920 hal.86, W.10515. (sebagaimana dikutip oleh Drs. P.A.F. LAMINTANG, SH dalam bukunya : Delik-delik Khusus – Kejahatan terhadap Nyawa, Tubuh dan Kesehatan serta Kejahatan yang Membahayakan bagi Nyawa, Tubuh dan Kesehatan ; Binacipta, Bandung, 1986, hal.303)



Ø  Bahwa yang dapat dimasukkan ke dalam pengertian openlijk geweld menurut pasal 170 ayat (1) KUHP itu hanyalah “kekerasan-kekerasan yang mengganggu ketertiban umum”, dengan alasan bahwa persyaratan tersebut dapat diketahui dari adanya kata openlijk atau secara terbuka didalam rumusan pasal 170 ayat (1) KUHP itu sendiri.   



v  Arrest HR 2 Maret 1908 (sebagaimana dikutip oleh R. SOENARTO SOERODIBROTO, SH dalam bukunya : KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad ; PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, Ed.5, Cet.10, 2004, Hal.106).



Ø  Pasal ini tidak menyatakan sebagai dapat dihukum setiap perbuatan yang dilakukan dengan menggunakan kekerasan dan tenaga bersama secara sengaja terhadap barang-barang yang berada di tempat umum. Akan tetapi hanya perbuatan yang dilakukan dengan kekerasan yang dilakukan di muka umum dan dengan demikian melanggar ketertiban umum. Dengan “secara terang-terangan dan menggunakan kekerasan” diartikan apa yang disebut vis publica terhadap orang atau barang.   



Ø  “Secara terang-terangan” berarti tidak secara bersembunyi, jadi tidak perlu di muka umum, cukup apabila tidak diperlukan apa ada kemungkinan orang lain dapat melihatnya.



v  Arrest HR 2 Maret 1908, W.8674 ; 30 Desember 1912, N.J.1913, 365, W.9440 ; 22 Desember 1919, N.J.1920, 86, W.10515 (sebagaimana dikutip oleh Drs. P.A.F. LAMINTANG,SH dalam bukunya : Hukum Pidana Indonesia ; Sinar Baru, Bandung, Cet. Ketiga, 1990, Hal.120).



Ø  Pasal ini tidak menentukan sebagai perbuatan yang dapat dihukum, setiap tindakan kekerasan yang dilakukan dengan sengaja dan dilakukan secara bersama-sama terhadap barang-barang yang berada di tempat yang terbuka, melainkan hanya kekerasan yang dilakukan secara terbuka dan karenanya menyebabkan terganggunya ketertiban umum. Dengan “kekerasan secara terbuka” dimaksudkan, bahwa vis publica atau force ouverte dari Code Penal pasal 440 atau Pemploi public et flagrant de violence itu dilakukan terhadap manusia atau barang.



v  Arrest HR 30 Nopember 1931, N.J.1932, 461, W.12440 (sebagaimana dikutip oleh Drs. P.A.F. LAMINTANG,SH dalam bukunya : Hukum Pidana Indonesia ; Sinar Baru, Bandung, Cet. Ketiga, 1990, Hal.120).



Ø  Beberapa orang yang di jalan umum secara bersama-sama dengan isyarat-isyarat yang bersifat mendesak memaksa orang lain datang mendekati mereka dan kemudian mendorong-dorong orang itu telah melakukan kekerasan secara terbuka.



v  Arrest HR 30 Nopember 1931, N.J.1932, halaman 461, W.12440 (sebagaimana dikutip oleh Drs. P.A.F. LAMINTANG,SH dalam bukunya : Delik-delik Khusus – Kejahatan terhadap Nyawa, Tubuh dan Kesehatan serta Kejahatan yang Membahayakan bagi Nyawa, Tubuh dan Kesehatan, Binacipta, Bandung, 1986, hal.305.



Ø  Beberapa orang yang “di atas jalan umum” secara bersama-sama dengan isyarat-isyarat yang mendesak menyuruh seseorang untuk mendekat dan kemudian telah mendorong-dorong orang tersebut, mereka itu telah melakukan kekerasan secara terbuka.



v  Putusan MARI No. 10 K/Kr/1975 tanggal 17-3-1976 (sebagaimana dikutip oleh R. SOENARTO SOERODIBROTO, SH dalam bukunya : KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad ; PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, Ed.5, Cet.10, 2004, Hal.105).



Ø  Openlijk dalam naskah asli pasal 170 Wetboek van Stafrecht lebih tepat diterjemahkan “secara terang-terangan”, istilah mana mempunyai arti yang berlainan dengan openbaar atau “dimuka umum”.



Ø  “Secara terang-terangan” berarti tidak secara bersembunyi, jadi tidak perlu di muka umum, cukup apabila tidak diperlukan apa ada kemungkinan orang lain dapat melihatnya.



v  Drs.P.A.F LAMINTANG, SH ; Delik-delik Khusus – Kejahatan terhadap Nyawa, Tubuh dan Kesehatan serta Kejahatan yang Membahayakan bagi Nyawa, Tubuh dan Kesehatan, Binacipta, Bandung, 1986, hal.302, 305.



Ø  Mengenai sifatnya yang harus terbuka dari suatu kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama oleh pelaku dengan sejumlah orang lainnya terhadap orang-orang atau barang-barang seperti yang dimaksudkan dalam pasal 170 ayat (1) KUHP itu, ternyata undang-undang pun tidak memberikan penjelasannya.



Ø  Dari yurisprudensi kita hanya mengetahui sedikit tentang apa yang dimaksudkan dengan openlijk geweld atau “kekerasan yang dilakukan secara terbuka” atau kekerasan yang sifatnya terbuka, yakni dari beberapa arrest Hoge Raad 2 Maret 1908, W.8674 ; 30 Desember 1912, N.J.1913, 365, W.9440 ; 22 Desember 1919, N.J.1920, 86, W.10515, yang pada dasarnya telah mengatakan sebagai berikut : “Pasal ini tidak menyatakan sebagai dapat dipidana yaitu setiap kesengajaan melakukan kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama terhadap barang-barang yang terdapat di tempat yang terbuka, melainkan hanya kekerasan yang dilakukan secara terbuka hingga mendatangkan gangguan terhadap ketertiban umum. Yang dimaksudkan dengan kekerasan yang dilakukan secara terbuka atau kekerasan yang sifatnya terbuka itu ialah vis publica (kekuatan umum), force ouverte (kekerasan terbuka) menurut pasal 440 C.P. atau l’emploi public et flagarant de violence (penggunaan dari kekerasan orang banyak) yang dilakukan terhadap orang-orang dan barang-barang.”  



Ø  Untuk mencegah kesalahpahaman seolah-olah tindak kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama di tempat umum itu tidak dapat disebut sebagai tindak kekerasan yang sifatnya terbuka dan dilakukan secara bersama, berikut ini dapat dilihat arrest Hoge Raad tertanggal 30 Nopember 1931,N.J.1932 halaman 461,W.12440, yang antara lain memutuskan bahwa : “Beberapa orang yang di jalan umum secara bersama-sama dengan isyarat-isyarat yang bersifat mendesak memaksa orang lain datang mendekati mereka dan kemudian mendorong-dorong orang itu telah melakukan kekerasan secara terbuka.”



v  SR. SIANTURI, SH ; Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Alumni AHAEM-PETEHAEM, Jakarta, cet.ke-2, 1989, Hal.325 ; 326.



Ø  Yang dimaksud dengan secara terbuka atau terang-terangan (openlijk) di sini ialah bahwa tindakan itu dapat disaksikan umum. Jadi apakah tindakan itu dilakukan di tempat umum atau tidak, tidak dipersoalkan. Pokoknya dapat dilihat oleh umum. Bahkan dalam praktek peradilan, jika tindakan itu dilakukan di tempat yang sepi, tidak ada manusia, penerapan delik ini dipandang tidak tepat. Cukup delik penganiayaan saja yang diterapkan.



Ø  Dalam rangka penerapan delik ini, perlu pula diperhatikan bahwa delik ini berada dibawah judul : Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum. Karenanya, jika tindakan itu terjadi dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan “gangguan terhadap ketertiban umum”, maka tidak tepat penerapan pasal ini.



v  R. SOENARTO SOERODIBROTO, SH ; KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, Ed.5, Cet.10, 2004, Hal.106.



Ø  Meskipun perbuatan penggunaan kekerasan tidak dilihat oleh orang lain, akan tetapi jika dilakukan di suatu tempat yang dapat dilihat oleh orang lain, maka unsur openlijk atau “secara terang-terangan” telah dinyatakan terbukti.  



v  R. SOESILO ; KUHP Serta Komentar-komentarnya Lengkap pasal demi Pasal, Politea Bogor, Tahun 1996, hal.147.



Ø  Kekerasan itu harus dilakukan “dimuka umum”, karena kejahatan ini memang dimasukkan kedalam golongan ketertiban umum. Dimuka umum artinya ditempat publik dapat melihatnya. 



v  Prof. DR. ANDI HAMZAH, SH ; Delik-delik kekerasan dan Delik-delik yang berkaitan dengan kerusuhan, CV Sumber Ilmu Jaya, Jakarta, Cet. Ke-II, 1999, hal.8, 9.



Ø  Kekerasan yang dilakukan di muka umum (disebut juga kejahatan terhadap ketertiban umum), yaitu di tempat orang banyak (publik) dapat melihat perbuatan kekerasan tersebut. 



Ø  Perusakan barang, luka dan mati sebagai akibat, berbeda dengan perusakan barang (pasal 406 KUHP), di dalam pasal 170 KUHP tidak disebutkan bahwa barang itu kepunyaan orang lain. Hakim dalam memutuskan harus meresapi jiwa dan sejarah pasal itu. Disini ada vis publica, force ouverte seperti dalam pasal 440 Code Penal. Di sini delik dilakukan untuk mengganggu openbare orde (ketertiban umum). Kepentingan umum tidak terganggu dengan merusak barang sendiri, jadi hakim harus tahu bahwa yang akan dilindungi dengan pasal 170 KUHP ini ialah ketertiban umum, yang kalau barang sendiri yang rusak berarti tidak mengganggu ketertiban umum yang akan dilindungi itu., jadi tidak perlu dipidana. Walaupun dalam rumusan delik tidak disebut bahwa merusak barang sendiri bukan delik. 



v  Prof. DR. WIRJONO PRODJODIKORO, SH ; Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, PT.Eresco, Jakarta-Bandung, Cet. Ke-III, 1980, hal.171.



Ø  “Secara terang-terangan” (openlijk) berarti “tidak secara bersembunyi”. Jadi tidak perlu dimuka umum (in het openbaar), cukup, apabila tidak diperdulikan, apa ada kemungkinan orang lain dapat melihatnya. 



v  Brigjen.Pol.Drs.H.A.K.MOCH.ANWAR,SH ; Hukum Pidana Bagian Khusus – KUHP Buku II – Jilid II, Alumni, Bandung, 1981, hal.117.



Ø  Kekerasan harus dilakukan secara terbuka yang berarti dapat terlihat oleh publik, tetapi tidak perlu dilakukan dimuka umum. 



Ø  Kekerasan ini dapat dilakukan di dalam sebuah rumah, tetapi harus tampak dari luar rumah untuk dapat dinyatakan sebagai perbuatan yang dapat dihukum. Terhadap kekerasan yang dilakukan di tempat yang sunyi, dimana ketenteraman umum tidak terlibat, tidak dapat diperlakukan pasal ini. 



Ø  Tidak semua kekerasan yang tampak, tetapi apabila tidak dapat terlihat oleh publik, dapat dianggap sebagai kekerasan yang dilakukan secara terbuka.



Ø  Kejahatan yang terdapat dalam pasal ini adalah kejahatan terhadap ketertiban umum. Ketiadaan keterbukaan dari pada kekerasan yang dilakukan, tidak dapat dinyatakan sebagai kejahatan yang diatur dalam pasal ini. Perbuatan tersebut diatas hanya dapat dikwalifisir sebagai penganiayaan. Syarat terbuka ini tidak hanya meliputi unsur melakukan kekerasan, tetapi juga meliputi “tindakan kekuatan bersama”. Para pelaku tidak perlu terlihat, hanya tindakan kekerasannya saja yang harus tampak. Para pelaku dapat saja bersembunyi tetapi tindakan dengan kekuatan bersama, tidak boleh tersembunyi terhadap publik.



dengan tenaga bersama   /   secara bersama-sama



v  Drs.P.A.F LAMINTANG, SH ; Delik-delik Khusus – Kejahatan terhadap Nyawa, Tubuh dan Kesehatan serta Kejahatan yang Membahayakan bagi Nyawa, Tubuh dan Kesehatan, Binacipta, Bandung, 1986, hal.306.



Ø  Baik dari undang-undang maupun dari yurisprudensi, penulis ternyata telah tidak berhasil mendapatkan penjelasan tentang apa yang sebenarnya dimaksudkan dengan kata met verenigde krachten atau “secara bersama-sama” tersebut, hingga penulis terpaksa harus melihat kedalam doktrin untuk mengetahui arti yang sebanarnya dari kata tersebut. Didalam doktrin sendiri ternyata tidak terdapat suatu communis opinio doctorum (kesamaan pendapat diantara para ahli) tentang apa yang sebenarnya telah dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang dengan kata met verenigde krachten atau “secara bersama-sama” tersebut.



v  Prof. Mr. T.J. NOYON – Prof. Mr. G.E. LANGEMEIJER ; Het Wetboek van Strafrecht I, S. Gouda Quint – D. Brouwer en Zoon, Arnhem, 1954, hal.665 (sebagaimana dikutip oleh  Drs. P.A.F. LAMINTANG, SH dalam bukunya : Delik-delik Khusus – Kejahatan terhadap Nyawa, Tubuh dan Kesehatan serta Kejahatan yang Membahayakan bagi Nyawa, Tubuh dan Kesehatan ; Binacipta, Bandung, 1986, hal.306)



Ø  Profesor-profesor NOYON-LANGEMEIJER berpendapat, bahwa kata berenigde krachten itu harus diartikan sebagai verenigde personen atau beberapa orang dalam satu ikatan. Menurut profesor-profesor tersebut, dalam hal ini para pelaku itu setidak-tidaknya perlu mengetahui bahwa dalam suatu tindak kekerasan itu terlibat beberapa orang didalamnya. Bahwa adanya dua orang yang melakukan suatu tindakan itu sudah cukup untuk mengatakan, bahwa tindakan tersebut telah dilakukan met verenigde krachten. Tentang hal tersebut berkatalah profesor-profesor NOYON-LANGEMEIJER antara lain bahwa : “Dua orang saja sudah dapat melakukan suatu tindakan secara bersama-sama. Dalam pasal ini tidak ditentukan secara tegas tentang berapa banyaknya orang yang harus terlibat dalam tindak pidana yang bersangkutan., agar tindak pidana tersebut dapat disebut sebagai telah dilakukan secara bersama-sama, lain halnya dengan ketentuan yang diatur dalam pasal 214 KUHP. Dimana pun undang-undang berbicara tentang bersama-sama di situ selalu disebut dua orang atau lebih.”  



v  Prof. Mr. G.A. van HAMEL (sebagaimana dikutip oleh  Prof. Mr. D. SIMONS dalam bukunya : Leerboek van het Nederlandse Strafrecht II, P. Noordhoff N.V., Groningen – Batavia, 1941, hal.262) dan dikutip pula oleh Drs. P.A.F. LAMINTANG, SH dalam bukunya : Delik-delik Khusus – Kejahatan terhadap Nyawa, Tubuh dan Kesehatan serta Kejahatan yang Membahayakan bagi Nyawa, Tubuh dan Kesehatan ; Binacipta, Bandung, 1986, hal.307.



Ø  Profesor van HAMEL ternyata telah bermaksud untuk mencari perbedaan antara pengertian met verenigde krachten atau dengan tenaga-tenaga yang disatukan dengan pengertian met twees of meer verenigde personen atau dengan dua orang atau lebih secara bersama-sama. Profesor van HAMEL berpendapat bahwa dalam met verenigde krachten atau dalam dengan tenaga-tenaga yang disatukan itu diisyaratkan, bahwa para pelaku dari tindak kekerasan itu telah menyatukan tenaga-tenaga mereka untuk melakukan tindak kekerasan secara terbuka, baik dengan diperjanjikan terlebih dahulu ataupun oleh suatu impuls atau oleh suatu dorongan kolektif yang timbul secara kebetulan atau bersifat seketika itu juga.  



v  Prof. Mr. D. SIMONS ; Leerboek van het Nederlandse Strafrecht II, P. Noordhoff N.V., Groningen – Batavia, 1941, hal.262 (sebagaimana dikutip oleh  Drs. P.A.F. LAMINTANG, SH dalam bukunya : Delik-delik Khusus – Kejahatan terhadap Nyawa, Tubuh dan Kesehatan serta Kejahatan yang Membahayakan bagi Nyawa, Tubuh dan Kesehatan ; Binacipta, Bandung, 1986, hal.307).



Ø  Profesor SIMONS berpendapat bahwa suatu tindak kekerasan itu hanya dapat disebut sebagai telah dilakukan met verenigde krachten atau dengan tenaga-tenaga yang disatukan yakni jika dalam tindak kekerasan tersebut terlibat banyak orang atau segerombolan orang, dan menganggap adanya dua orang yang terlibat didalamnya sebagai tidak mencukupi. Tentang hal tersebut berkatalah profesor SIMONS antara lain bahwa : “Suatu kekerasan itu hanya dapat dilakukan dengan tenaga-tenaga yang disatukan, jika tindak kekerasan itu telah diikuti oleh sejumlah besar orang atau oleh suatu gerombolan orang, hingga adanya suatu kumpulan yang terdiri dari dua orang saja tidak cukup untuk maksud tersebut. Penjelasan mengenai ketentuan yang diatur dalam pasal ini ternyata sesuai dengan pengertian yang sifatnya terbatas itu. Kecuali dari itu kata dengan tenaga-tenaga yang disatukan itu mempunyai arti yang lain dari sekedar dengan dua orang atau lebih secara bersama seperti yang telah dipergunakan oleh pembentuk undang-undang didalam beberapa pasal.”    



Ø  Berkenaan dengan pendapat profesor van HAMEL tersebut di atas, profesor SIMONS mengatakan, bahwa pada tindakan yang dilakukan secara bersama-sama pun orang dapat mensyaratkan hal yang sama, akan tetapi didamping hal tersebut orang juga perlu mensyaratkan adanya suatu bewuste samenwerking atau suatu kesadaran pada diri para pelaku bahwa mereka itu melakukan suatu kerjasama, hingga perbedaan antara met verenigde krachten dengan met twees of meer verenigde personen itu perlu dicari seperti yang telah dilakukan oleh profesor van HAMEL.



v  SR. SIANTURI, SH ; Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Alumni AHAEM-PETEHAEM, Jakarta, cet.ke-2, 1989, Hal.325-326.



Ø  Yang dimaksud dengan tenaga-bersama di sini ialah bahwa beberapa tenaga dipersatukan oleh mereka yang mempunyai tenaga itu. Ini tidak berarti, dalam melakukan kekerasan terhadap orang misalnya, semua tangan menyekap orang itu, kemudian semua kaki menendangnya, kemudian semua tangan menghempaskannya. Jika ada yang menyekap, yang lain memukul dan yang lain menendang, telah terjadi penggunaan tenaga bersama.



Ø  Unsur kesalahan di sini adalah berupa kesengajaan. Hal ini tersimpulkan dari perumusan “dengan tenaga bersama melakukan”, yang berarti setidak-tidaknya ada saling pengertian mengenai yang dilakukan dengan tenaga bersama itu. Apakah “saling pengertian” itu terjadi jauh sebelum kejadian itu atau pada waktu kejadian itu, dalam hal ini tidak dipersoalkan. 



v  R. SOESILO, SH ; KUHP Serta Komentar-komentarnya Lengkap pasal demi Pasal, Politea Bogor, Tahun 1996, hal.147.



Ø  Kekerasan itu harus dilakukan “bersama-sama”, artinya oleh sedikit-dikitnya “dua orang atau lebih”. Orang-orang yang hanya mengikuti dan tidak benar-benar turut melakukan kekerasan, tidak dapat turut dikenakan pasal ini. 



v  Prof. DR. ANDI HAMZAH, SH ; Delik-delik kekerasan dan Delik-delik yang berkaitan dengan kerusuhan, CV Sumber Ilmu Jaya, Jakarta, Cet. Ke-II, 1999, hal.8.



Ø  Kekerasan yang dilakukan bersama orang lain atau kekerasan yang sedikitnya dilakukan oleh dua orang atau lebih. 



v  Prof. DR. WIRJONO PRODJODIKORO, SH ; Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, PT.Eresco, Jakarta-Bandung, Cet. Ke-III, 1980, hal.171.



Ø  Unsur “bersama-sama” (met vereenigde krachten) memperlukan adanya dua pelaku atau lebih, yang bersekongkol saling menolong dalama melakukan kekerasan.



v  Brigjen.Pol.Drs.H.A.K.MOCH.ANWAR,SH ; Hukum Pidana Bagian Khusus – KUHP Buku II – Jilid II, Alumni, Bandung, 1981, hal.116-117.



Ø  Kekerasan dilakukan dengan kekuatan bersama, dan untuk mengadakan kekuatan bersama kekerasan harus dilakukan oleh beberapa orang secara bersatu. Dan para pelaku masing-masing mengetahui bahwa terdapat orang-orang lain yang turut serta melakukan perbuatannya. Tindakan dengan kekuatan bersama sudah terdapat oleh hanya 2 orang saja. Kekuatan bersama dapat dilakukan oleh 2 orang atau lebih.



“menggunakan kekerasan



v  Drs. P.A.F. LAMINTANG, SH ; Delik-delik Khusus – Kejahatan terhadap Nyawa, Tubuh dan Kesehatan serta Kejahatan yang Membahayakan bagi Nyawa, Tubuh dan Kesehatan, Binacipta, Bandung, 1986, hal.300.



Ø  Undang-undang sendiri telah tidak memberikan penjelasannya tentang apa yang yang dimaksudkan dengan kekerasan, melaiankan di dalam pasal 89 KUHP “hanya menyamakan” dengan melakukan kekerasan yaitu perbuatan “membuat dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya”.



v  Prof. Mr. T.J. NOYON – Prof. Mr. G.E. LANGEMEIJER ; Het Wetboek van Strafrecht I, S. Gouda Quint – D. Brouwer en Zoon, Arnhem, 1954, hal.470,662,662 (sebagaimana dikutip oleh  Drs. P.A.F. LAMINTANG, SH dalam bukunya : Delik-delik Khusus – Kejahatan terhadap Nyawa, Tubuh dan Kesehatan serta Kejahatan yang Membahayakan bagi Nyawa, Tubuh dan Kesehatan ; Binacipta, Bandung, 1986, hal.300,301,302).



Ø  Profesor-profesor NOYON – LANGEMEIJER telah mengartikan geweld atau kekerasan itu sebagai krachtdadig optreden atau sebagai bertindak dengan mempergunakan kekuatan atau tenaga, jadi bukan bertindak secara biasa, akan tetapi penggunaan kekuatan atau tenaga yang tidak begitu kuat pun dapat dimasukkan ke dalam pengertiannya.     



Ø  Mengenai dalam bentuk perbuatan yang bagaimana kekerasan itu dapat dilakukan orang, Profesor-profesor NOYON – LANGEMEIJER telah memberikan penjelasaannya sebagai berikut : “Kekerasan itu dapat berupa perusakan barang-barang atau berupa penganiayaan ; jika hal tersebut terjadi maka terdapat suatu gabungan dari kejahatan-kejahatan itu, akan tetapi cukup kiranya jika dalam hal ini terdapat kemungkinan yang dapat menjurus ke arah itu, jadi kekerasan itu belum mempunyai arti sebagai penganiayaan atau perusakan, dan dianggap sebagai sudah ada yaitu misalnya jika orang telah melemparkan batu-batu ke sebuah rumah ; dengan demikian perbuatan merampok sebuah toko roti, yakni dalam peristiwa mana sejumlah roti telah dilemparkan ke jalanan tanpa secara khusus merusak roti-roti tersebut, dapat dimasukkan ke dalam pengertian melakaukan kekerasan”.



Ø  Dijelaskan lebih lanjut oleh profesor-profesor NOYON – LANGEMEIJER bahwa tindak pidana yang dilarang dalam pasal 170 ayat (1) KUHP itu adalah melakukan kekerasan. Jadi berbeda dengan perbuatan-perbuatan melakukan kekerasan seperti yang dimaksud dalam pasal-pasal 146, 211 atau pasal 212 KUHP, dalam tindak pidana - tindak pidana mana perbuatan-perbuatan melakukan kekerasan itu hanya merupakan “cara” untuk mencapai tujuan-tujuan yang lain, maka dalam pasal 170 ayat (1) KUHP ini, perbuatan melakukan kekerasan itu merupakan “tujuan” atau doel dari tindak pidana seperti yang dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang di dalam ketentuan pidana seperti yang telah diaturnya dalam pasal 170 ayat (1) KUHP tersebut. 



v  Prof. Mr. D. SIMONS ; Leerboek van het Nederlandse Strafrecht II, P. Noordhoff N.V., Groningen – Batavia, 1941, hal.261 (sebagaimana dikutip oleh  Drs. P.A.F. LAMINTANG, SH dalam bukunya : Delik-delik Khusus – Kejahatan terhadap Nyawa, Tubuh dan Kesehatan serta Kejahatan yang Membahayakan bagi Nyawa, Tubuh dan Kesehatan ; Binacipta, Bandung, 1986, hal.300)



Ø  Orang dapat berbicara tentang adanya suatu kekerasan jika dalam suatu peristiwa itu orang telah menggunakan kekuatan atau tenaga badaniah yang tidak terlalu ringan.    



v  SR. SIANTURI, SH ; Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Alumni AHAEM-PETEHAEM, Jakarta, cet.ke-2, 1989, Hal.326.



Ø  Melakukan kekerasan di sini hanya pada suatu tingkat tertentu, yang tidak membuat si objek hancur atau luka, ataupun lebih parah lagi. Karena jika demikian halnya yang diterapkan adalah ayat (2). Melakukan kekerasan di sini, selain merupakan tindakan yang terlarang juga merupakan tujuan yang terdekatnya. Jadi bukan sebagai sarana untuk tujuan lain seperti misalnya pada delik pasal 146, 173, 212, 368 dan lain sebagainya serta juga bukan sebagai sekedar kenakalan seperti tersebut dalam pasal 489. Karena itu secara tegas pada ayat (3) ditentukan bahwa penerapan pasal 89 terhadap delik ini disimpangi.



Ø  Di ayat (2) ke-1 di satu fihak ditentukan / dirumuskan tujuan terdekat yang kedua yaitu “dengan sengaja menghancurkan barang”, dan dilain fihak luka orang itu adalah merupakan suatu akibat dari kesengajaan melakukan kekerasan terhadapnya. Hal ini adalah suatu perumusan yang tidak atau kurang sempurna seperti halnya perumusan pada ayat (1). Jika secara harafiah mengikuti ketentuan pada ayat (2) ke-1 tersebut, jika kesengajaan itu adalah untuk membuat tidak terpakai (onbruikbaar maken), merusak (beschadigen), atau menghilangkannya (wegmaken), maka tidak dapat diterapkan ayat (2) tersebut karena yang ditentukan hanya kesengajaan menghancurkan (vernielen). Padahal dalam praktek sukar membedakan antara : membuat tidak terpakai (onbruikbaar maken), merusak (beschadigen) dan menghancurkan (vernielen) tersebut. Karenanya pengertian menghancurkan (vernielen) itu sebaiknya dianut yang mencakup keseluruhannya tersebut di atas.



v  R. SOESILO, SH ; KUHP Serta Komentar-komentarnya Lengkap pasal demi Pasal, Politea Bogor, Tahun 1996, hal.146-147, 98.



Ø  Yang dilarang dalam pasal ini ialah : “melakukan kekerasaan”. Melakukan kekerasan artinya : mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara yang tidak syah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang, dsb.     



Ø  Melakukan kekerasan dalam pasal ini bukan merupakan suatu alat atau daya upaya untuk mencapai sesuatu seperti halnya dalam pasal 146, 211, 212 dan lain-lainnya, akan tetapi merupakan suatu tujuan. Disamping itu tidak pula masuk kenakalan dalam pasal 489, penganiayaan dalam pasal 351 dan merusak barang dalam pasal 406 dan sebagainya.   



v  Prof. DR. ANDI HAMZAH, SH ; Delik-delik kekerasan dan Delik-delik yang berkaitan dengan kerusuhan, CV Sumber Ilmu Jaya, Jakarta, Cet. Ke-II, 1999, hal7-8.



Ø  Yang dilarang ialah perbuatan kekerasan yang merupakan tujuan dan bukan merupakan alat atau daya upaya untuk mencapai suatu kekerasan, yang dilakukan biasanya merusak barang atau menganiaya atau dapat pula mengakibatkan sakitnya orang atau rusaknya barang, walaupun dia tidak bermaksud menyakiti orang atau merusak barang. Misalnya perbuatan melempar batu kepada kerumunan orang atau kepada suatu barang, mengobrak-abrik barang dagangan hingga berantakan atau membalikkan kendaraan (Noyon-Langemeijer-Remmelink, Komentar pasal 141 Sr). Jadi, biasanya kelompok atau massa yang marah dan beringas, tanpa pikir akibat perbuatannya, mereka melakukan tindakan kekerasan, sehingga terjadi kerusuhan, kebakaran, orang lain luka atau bahkan mati.         



v  Prof. DR. WIRJONO PRODJODIKORO, SH ; Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, PT.Eresco, Jakarta-Bandung, Cet. Ke-III, 1980, hal.170.



Ø  Kini kekerasan adalah tujuan, bukan sarana untuk tujuan lain. Maka tidak perlu ada akibat tertentu dari kekerasan. Apabila kekerasannya misalnya berupa melemparkan batu ke arah seorang atau suatu barang, maka tidak perlu orang atau barang itu kena lemparan batu itu.



v  Brigjen.Pol.Drs.H.A.K.MOCH.ANWAR,SH ; Hukum Pidana Bagian Khusus – KUHP Buku II – Jilid II, Alumni, Bandung, 1981, hal.116.



Ø  Perbuatan yang dilarang adalah perbuatan melakukan kekerasan terhadap orang atau barang. Dalam hal ini kekerasannya harus benar-benar dilakukan dan melakukan kekerasan ini tidak tergantung atas akibat yang timbul terhadap orang atau barang.



Ø  Kekerasan dapat terdiri atas perusakan barang atau penganiayaan. Apabila kedua perbuatan ini dilakukan, maka hal ini menimbulkan gabungan dari beberapa kejahatan. Kekerasan itu dilakukan secara terbuka dan dengan kekuatan yang terkumpul, hingga kejahatan ini merupakan kejahatana terhadap ketertiban umum, dimana korban yang dirugikan kurang diperhatikan.



Ø  Kejahatan dalam pasal 170 (1) ini sudah terlaksana dengan misalnya dengan perbuatan melempar batu ke sebuah rumah, mengambil roti dari sebuah toko, roti mana dilempar ke jalan.



Ø  Perbuatana kekerasan merupakan tujuan, bukan merupakan sarana untuk mencapai tujuan lain. 



terhadap orang atau barang   /

terhadap orang-orang atau barangt-barang



v  Drs. P.A.F. LAMINTANG, SH ; Delik-delik Khusus – Kejahatan terhadap Nyawa, Tubuh dan Kesehatan serta Kejahatan yang Membahayakan bagi Nyawa, Tubuh dan Kesehatan, Binacipta, Bandung, 1986, hal.308,309.



Ø  Tegen personen of goederen atau terhadap orang-orang atau barang-barang, artinya bahwa kekerasan yang dilakukan oleh beberapa orang secara terbuka dan secara bersama-sama itu harus ditujukan terhadap orang-orang atau barang-barang.



Ø  Perlu dicatat bahwa para penerjemah di Indonesia pada umumnya telah menerjemahkan kata personen (persoon dalam bentuk jamak) dan kata geoderen (goed dalam bentuk jamak) didalam rumusan pasal 170 ayat (1) KUHP itu dengan kata orang dan barang (dalam bentuk tunggal). Kesalahan-kesalahan yang nampaknya kecil dan tidak mempunyai arti sama sekali seperti itu, kadang-kadang mempunyai akibat yang sangat merugikan bagi penegakan hukum di tanah air. Kesalahan-kesalahan seperti itu sudah barang tentu tidak akan dapat diketahui oleh para pembaca, jika para pembaca tidak mempunyai kesempatan untuk membandingkan rumusan-rumusan tindak pidana - tindak pidana yang terdapat didalam kitab-kitab penerjemahan itu dengan rumusan-rumusan yang asli didalam bahasa Belanda yang terdapat didalam Wetboek van Strafrecht voor Indonesie.    



Ø  Pendapat dari profesor-profesor NOYON-LANGEMEIJER sebagaimana tersebut dibawah adalah memang benar, akan tetapi kelirulah pendapat mereka yang mengatakan bahwa apabila suatu kekerasan itu telah ditujukan terhadap satu orang atau terhadap sebuah benda, maka para pelakunya tetap dapat dipersalahkan karena melanggar larangan yang diatur dalam pasal 170 KUHP. Pendapat dari profesor-profesor NOYON-LANGEMEIJER tersebut akan membuat pasal 200, 406 atau 410 KUHP menjadi tidak ada artinya, karena sebagai contoh mereka telah menunjuk pada perbuatan menghancurkan sebuah rumah.



v  Prof. Mr. T.J. NOYON – Prof. Mr. G.E. LANGEMEIJER ; Het Wetboek van Strafrecht I, S. Gouda Quint – D. Brouwer en Zoon, Arnhem, 1954, hal.309, 664 (sebagaimana dikutip oleh  Drs. P.A.F. LAMINTANG, SH dalam bukunya : Delik-delik Khusus – Kejahatan terhadap Nyawa, Tubuh dan Kesehatan serta Kejahatan yang Membahayakan bagi Nyawa, Tubuh dan Kesehatan ; Binacipta, Bandung, 1986, hal.309, 310).



Ø  Profesor-profesor NOYON-LANGEMEIJER mengatakan bahwa adanya rumusan dalam bentuk jamak yakni terhadap orang-orang atau barang-barang itu akan membuat perbuatan melakukan kekerasan terhadap satu orang atau terhadap sebuah benda menjadi tidak dapat dipidana. 



Ø  Menurut profesor-profesor NOYON-LANGEMEIJER, pada umumnya yang dimaksudkan dengan barang-barang itu adalah harta-harta kekayaan. Mereka berpendapat bahwa tidak ada satu pun alasan untuk tidak memasukkan juga kedalam pengertiannya yakni barang-barang bernyawa seperti binatang-binatang. Harus pula dimasukkan kedalam pengertiannya yakni bukan hanya barang-barang bergerak melainkan juga barang-barang tidak bergerak.



v  SR. SIANTURI, SH ; Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Alumni AHAEM-PETEHAEM, Jakarta, cet.ke-2, 1989, Hal.325.



Ø  Walaupun di sini tidak dicantumkan milik siapa barang tersebut, namun jika beberapa orang secara terbuka dengan tenaga bersama melakukan kekerasan kepada barang mereka bersama, misalnya lima orang pemilik suatu bangunan tua, dengan tenaga bersama menghancurkan bangunan itu dalam rangka menggantinya dengan bangunan baru, yang ditonton oleh banyak orang, bukanlah suatu tindakan merusak dalam delik ini.  



v  R. SOESILO, SH ; KUHP Serta Komentar-komentarnya Lengkap pasal demi Pasal, Politea Bogor, Tahun 1996, hal.147.



Ø  Kekerasan itu harus ditujukan terhadap “orang atau barang”. Hewan atau binatang masuk pula dalam pengertian barang. Pasal ini tidak membatasi, bahwa orang (badan) atau barang itu harus “kepunyaan orang lain”, sehingga milik sendiri masuk pula dalam pasal ini, meskipun tidak akan terjadi orang melakukan kekerasan terhadap diri atau barangnya sendiri sebagai tujuan ; kalau sebagai alat atau daya upaya untuk mencapai sesuatu hal, mungkin bisa juga terjadi.



v  Arrest HR 27 April 1896 (sebagaimana dikutip oleh R. SOENARTO SOERODIBROTO, SH dalam bukunya : KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad ; PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, Ed.5, Cet.10, 2004, Hal.106).



Ø  Penggunaan kekerasan terhadap suatu detasemen Polisi adalah mungkin. Pasal 170 KUHP tidak membedakan antara kekerasan terhadap pegawai negeri dan terhadap orang-orang lain. Berbeda dengan pasal 212 KUHP, ketentuan ini tidak mensyaratkan bahwa dilakukan perlawanan. 



v  Arrest HR 27 April 1896, W.6806 (sebagaimana dikutip oleh Drs. P.A.F. LAMINTANG, SH ; Delik-delik Khusus – Kejahatan terhadap Nyawa, Tubuh dan Kesehatan serta Kejahatan yang Membahayakan bagi Nyawa, Tubuh dan Kesehatan, Binacipta, Bandung, 1986, hal.310)



Ø  Tindak kekerasan terhadap suatu detasemen polisi itu dapat sajja terjadi. Pasal 170 KUHP tidak membuat perbedaan antara tindak kekerasan terhadap pegawai negeri dengan tindak kekerasan terhadap orang-orang lainnya. Berbeda dengan ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 212 KUHP, ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 170 KUHP ini tidak mensyaratkan bahwa para pelaku harus melakukan suatu perlawanan.  



v  Arrest HR 27 April 1896, W.6806 (sebagaimana dikutip oleh Drs. P.A.F. LAMINTANG,SH dalam bukunya : Hukum Pidana Indonesia ; Sinar Baru, Bandung, Cet. Ketiga, 1990, Hal.120).



Ø  Tindakan kekerasan terhadap sebuah detasemen Polisi adalah mungkin, karena pasal 170 KUHP ini tidak mengadakan perbedaan antara pegawai negeri dan orang-orang lainnya. Akan tetapi berbeda dengan pasal 212 KUHP, ketentuan ini tidak mensyaratkan tentang adanya perlawanan. 



v  Prof. DR. ANDI HAMZAH, SH ; Delik-delik kekerasan dan Delik-delik yang berkaitan dengan kerusuhan, CV Sumber Ilmu Jaya, Jakarta, Cet. Ke-II, 1999, hal.8.



Ø  Kekerasan yang dilakukan tersebut ditujukan kepada orang atau barang atau hewan, binatang, baik itu kepunyaan sendiri maupun kepunyaan orang lain.



ex. ayat (2) ke-1

jika dengan sengaja menghancurkan barang

atau jika kekerasan yang digunakan mengakibatkan luka-luka



ex. ayat (2) ke-2

jika kekerasan mengakibatkan luka berat



ex. ayat (2) ke-3

jika kekerasan mengakibatkan maut



v  SR. SIANTURI, SH ; Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Alumni AHAEM-PETEHAEM, Jakarta, cet.ke-2, 1989, Hal.326.



Ø  Dalam ayat ini di satu fihak ditentukan/dirumuskan tujuan terdekat yang kedua yaitu “dengan sengaja menghancurkan barang”, dan di lain fihak luka orang itu adalah merupakan suatu akibat dari kesengajaan melakukan kekerasan terhadapnya. Hal ini adalah suatu perumusan yang tidak atau kurang sempurna seperti halnya perumusan ayat (1).



Ø  Jika secara harafiah mengikuti ketentuan ayat (2) ke-1 ini, maka jika kesengajaan itu adalah untuk membuat tidak terpakai (onbruuikbaar maken), merusak (beschadigen) atau menghilangkannya (wegmaken), tidak dapat diterapkan ayat (2) tersebut karena yang ditentukan hanya kesengajaan menghancurkan (vernielen). Padahal dalam praktek sukar membedakan antara : membuat tidak terpakai, merusak dan menghancurkan tersebut. Karenanya pengertian menghancurkan itu sebaiknya dianut yang mencakup keseluruhannya tersebut di atas.  



v  Arrest HR 19 November 1894 (sebagaimana dikutip oleh R. SOENARTO SOERODIBROTO, SH dalam bukunya : KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad ; PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, Ed.5, Cet.10, 2004, Hal.106).



Ø  Pada pasal 170 KUHP pelaku tidak bertanggung jawab untuk akibat-akibat parah dari perbuatan-perbuatan para pelaku peserta ; hal mana merupakan pengecualian terhadap pasal 55 KUHP. 



v  Arrest HR 19 Nopember 1894, W.6584 (sebagaimana dikutip oleh Drs. P.A.F. LAMINTANG,SH dalam bukunya : Hukum Pidana Indonesia ; Sinar Baru, Bandung, Cet. Ketiga, 1990, Hal.120).



Ø  Didalam pelanggaran pasal 170 KUHP ini, seorang pelaku itu tidak dipertnggung jawabkan terhadap akibat-akibat yang memberatkan yang dilakukan oleh lain-lain peserta di adalam kejahatan. Ini adalah suatu pengecualian terhadap pasal 55 KUHP. 



v  Prof. DR. WIRJONO PRODJODIKORO, SH ; Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, PT.Eresco, Jakarta-Bandung, Cet. Ke-III, 1980, hal.171.



Ø  Apabila akibat-akibat dari a, b dan c (ke-1, ke-2 dan ke-3) ini hanya disebabkan oleh perbuatan salah seorang dari para pelaku, maka untuk pelaku-pelaku yang lain tambahan hukuman tidak berlaku.



v  Brigjen.Pol.Drs.H.A.K.MOCH.ANWAR,SH ; Hukum Pidana Bagian Khusus – KUHP Buku II – Jilid II, Alumni, Bandung, 1981, hal.117-118.



Ø  Ayat (2) memperberat ancaman hukuman bagi yang bersalah telah melakukan kejahatan dalam ayat (1), apabila :

·   mereka secara pribadi merusak barang.

·   perbuatannya tersebut menyebabkan :

-   luka pada orang lain ;

-   luka berat pada orang lain ;

-   mati pada orang lain.



Ø  Sebenarnya kurang tepat untuk memperlakukan pemberatan ini terhadap semua peserta dari perbuatan kekerasan itu, hingga perbuatan dari orang lain (peserta lain) dipertanggung jawabkan kepada peserta yang tidak menimbulkan akibat-akibat tersebut. Ketentuan dalam ayat (2) dimaksudkan, agar gabungan antara perbuatan kekerasan dan penganiayaan atau perusakan tidak dimungkinkan. Dan kejahatan penganiayaan dan perusakan tersebut merupakan masalah yang memperberat hukuman.



v  Drs.P.A.F LAMINTANG, SH ; Delik-delik Khusus – Kejahatan terhadap Nyawa, Tubuh dan Kesehatan serta Kejahatan yang Membahayakan bagi Nyawa, Tubuh dan Kesehatan, Binacipta, Bandung, 1986, hal.295-296.



Ø  Tindak pidana menghilangkan nyawa orang lain dalam pasal 170 ayat (2) angka 3 KUHP dapat terjadi dalam kerusuhan-kerusuhan yang sering terjadi di tanah air sebagai ungkapan dari perasaan-perasaan tidak puas terhadap sesuatu hal yang melibatkan sejumlah besar orang. Dalam kerusuhan-kerusuhan seperti itu seringkali terdapat banyak orang yang melibatkan diri di dalamnya, tanpa asanya “sesuatu unsur schuld” pada diri mereka masing-masing melainkan hanya karena terpengaruh oleh kegiatan-kegiatan atau teriakan-teriakan massa, hingga cara berpikir mereka itu sebenarnya sudah tidak bersifat otonom lagi. Itulah pula sebabnya mengapa pembentuk undang-undang telah memberikan ancaman pidana yang lebih ringan terhadap pelaku-pelaku dari perbuatan menghilangkan nyawa orang lain dalam peristiwa-peristiwa semacam itu dibandingkan dengan ancaman-ancaman pidana dalam pasal-pasal KUHP lainnya terhadap pelaku-pelaku dari tindak pidana yang sejenis.  



Ø  Ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 170 KUHP itu juga dapat dipandang sebagai salah satu “ketentuan pidana yang bersifat khusus” dari ketentuan pidana yang bersifat umum seperti yang diatur dalam pasal 338 KUHP, hingga apabila dalam kerusuhan seperti yang dimaksudkan di atas, kekerasan yang dilakukan oleh seseorang itu ternyata telah menyebabkan meninggalnya seseorang, maka orang tersebut harus dituntut menurut ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 170 ayat (2) angka 3 KUHP dan bukan menurut ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 338 KUHP. Hal mana adalah sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam pasal 63 ayat (2) KUHP yang mengatakan : “Jika bagi suatu tindak pidanba yang diatur dalam suatu ketentuan pidana yang bersifat umum itu terdapat suatu ketentuan yang bersifat khusus, maka ketentuan pidana yang bersifat khusus itulah yang diberlakukan”. 



Ø  Apa akibat hukumnya jika dalam peristiwa di atas, penuntut umum tetap berkeras untuk mendakwa pelakunya sebagai pelaku dari tindak pidana yang diatur dalam pasal 338 KUHP ?. Walaupun yang didakwakan oleh penuntut umum itu mungkin saja dapat dibuktikan di sidang pengadilan, akan tetapi karena yang didakwakan terhadap pelaku itu bukan merupakan tindak pidana yang seharusnya didakwakan terhadap pelaku, maka hakim akan memutuskan pembebasan dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging)  bagi pelaku.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar